Kota Lubuklinggau merupakan kota
kelahiranku yang berada didaerah Sumatera Selatan. Di sebuah kota kecil ini
saya dilahirkan dan dibesarkan. Kota dengan luas berdasarkan Undang-undang
No. 7 tahun 2001 adalah 401,50 Km2 atau 40.150 Ha. Setiap kota memiliki karakternya
masing-masing. Seperti kota Lubuklinggau ini, kehidupan sehari-hari memiliki
tempo dan tensi yang sangat tinggi. Sedemikian tingginya hingga orang-orang
yang tinggal di dalamnya harus mengikuti iramanya. Jika tidak, seseorang tentu
akan tertinggal.
Di kota Lubuklinggau, semua orang
bergerak sangat cepat. Kompetisi yang tinggi membuat semua orang bersemangat
untuk memperoleh prestasi. Namun efek sampingnya, semangat itu sering kali
dilampiaskan dengan wujud saling sikut. Tentu saja yang lemah akan terjatuh.
Bahkan jika sudah terjatuh, bisa terinjak dan tergilas.
Kalau saya cermati kota Lubuklinggau merupakan
kota tanpa ruang filsafat. Kenapa saya mengatakan demikian, karena sangat
tertutupnya mimbar kebebasan untuk berpendapat, berdiskusi, berdebat dan bertukar
pikiran untuk mencari esensi dari kehidupan misalnya dalam bentuk pembahasan
tentang sulitnya perkembangan ekonomi , ambruknya dibidang pertanian, Pelanggaran hukum, kejahatan moral, intrik
politik, dogma agama, apa maknanya? Segala persoalan personal, masalah sosial, apa
maknanya? Apa makna semua ini? Apa maknanya bagi kehidupan ini?
Kota yang memiliki tempo dan tensi yang sangat tinggi. Diskusi
yang berisi percakapan dan perdebatan merupakan ruang refleksi. Tempo dan tensi
yang begitu tinggi cenderung membuat orang lupa akan refleksi. Di kota
Lubuklinggau, manusia hampir tidak memiliki waktu untuk sekadar berdiam diri,
apalagi bercakap dan berdiskusi. Jika digambarkan secara ekstrim, kota ini
tidak menyediakan orang-orang yang mau diajak duduk bersama, memikirkan esensi
kehidupan ini, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan esensial tentang
kehidupan.
Hampir tidak ada orang yang mau
mendengar keluhan orang lain dengan sukarela, apalagi ikut merasakan
penderitaannya. Kota yang tidak pernah
tidur. Siang dan malam begitu berisik dan bising. Sehingga itulah Saya namakan
sebagai kota tanpa permenungan sebagai ‘Kota Tanpa Filsafat’. Kota tanpa filsafat sebab
hampir tidak ada percakapan, perdebatan, dan diskusi tentang pencarian makna
kehidupan.
Di kota tanpa filsafat, diskusi
sekilas tampak di ruang-ruang publik. Namun setelah diamati dari dekat, tidak
ada pencarian makna. Orang-orang di kota ini membawa apa yang ditontonnya untuk
diceritakan kembali tanpa penyelidikan makna yang lebih serius. Kata filsafat
hampir tak terdengar di kota ini. Kalaupun terdengar, orang segera menutup
telinga karena merasa tidak ada gunanya.
Hidup di kota tanpa filsafat seperti
hidup dalam kesunyian di tengah keramaian. Kehidupan sehari-hari di kota tanpa
filsafat memperlihatkan praktik kesibukan meskipun sebenarnya hanya ada
kehampaan di dalamnya. Sesungguhnya, yang menciptakan kota seperti ini adalah
orang-orangnya karena yang dapat membentuk ‘peradaban’ suatu kota adalah
orang-orangnya. Semoga saja, kita sebagai manusia terus memberi kehidupan
terutama di tempat di mana kita berada. Tentu saja, salah satunya mengadakan
diskusi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis seputar pencarian
makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar